Pendahuluan
Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan
peternakan di Indonesia adalah upaya dalam pencukupan kebutuhan protein hewani,
yang pada gilirannya hal ini akan berpengaruh pada kecerdasan bangsa. Salah
satu produk produk protein hewani adalah daging, yang dapat dihasilkan dari
berbagai komoditas ternak, baik dari ternak besar, ternak kecil, dan unggas.
Ternak besar, terutama sapi, mempunyai peran yang sangat besar dalam penyediaan
daging. Daging sapi pada umumnya dihasilkan dari sapi potong, seperti sapi
bali, sapi madura, dan sapi peranakan ongole. Selain jenis sapi tersebut,
beberapa perusahaan penggemukan yang mempunyai modal kuat menggunakan bibit
sapi impor dari Australia. Namun, sejalan dengan krisis yang melanda negara
kita akhir-akhir ini menghadapkan kegiatan penggemukan sapi dengan menggunakan
sapi impor menjadi usaha sangat berat, bahkan perusahaan penggemukan skala
besar pun mencoba mengalihkan usahanya, kalau tidak menutup usahanya. Kondisi
yang semacam ini menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi kita untuk
mengisi kekurangan suplai daging dengan memberdayakan potensi yang kita punya.
Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang diketahui
mempunyai keunggulan-keunggulan dan nyata-nyata disukai oleh petani peternak,
sehingga pengembangannya telah merata hampir di seluruh pelosok nusantara. Hal
ini sejalan dengan usaha yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia, yaitu sebagai petani. Ternak sapi merupakan bagian dari sebagian
kehidupan petani karena dengan memelihara ternak sapi petani mendapatkan
manfaat yang dapat meningkatkan hasil pertanian dan kesejahteraan keluarga
petani.
Sapi Bali
1. Sejarah
Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah
merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia. yang merupakan
keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses domestikasi
yang terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia (Rollinson, 1984) selama
berabad-abad, diduga di Pulau Jawa atau Bali dan Lombok (Payne dan Rollinson,
1973; Meijer, 1962) karena sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup
liar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon dan Pulau Bali
menjadi pusat gen sapi Bali (Nozawa, 1979). Sapi Bali dikenal juga dengan nama
Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus,
meskipun sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos
indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali
diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos.
Dari Pulau Bali yang dipandang sebagai pusat perkembangan sekaligus pusat
bibit, sapi Bali menyebar dan berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara.
Penyebaran sapi Bali di luar Pulau Bali yaitu ke Sulawesi Selatan pada tahun
1920 dan 1927 (Herweijer, 1950; Pane, 1991), ke Lombok pada abad ke-19
(Hardjosubroto dan Astuti (1993), ke Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920
(Herweijer, 1950). Selanjutnya sapi Bali berkembang sampai ke Malaysia,
Philipina dan Ausatralia bagian Utara. Sapi Bali diintroduksi ke Australia
antara 1827-1849 (National Research Council, 1983).
Ciri – ciri
Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik
yang seragam. Ciri khas sapi Bali yang mudah dibedakan dari jenis sapi
Indonesia lainnya adalah adanya bulu putih berbentuk oval yang sering disebut
mirror atau cermin di bawah ekornya, serta warna putih di bagian bawah keempat
kakinya menyerupai kaos/stoking putih. Warna bulu putih juga dijumpai pada
bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Sapi Bali memiliki pola
warna bulu yang unik dan menarik dimana warna bulu pada ternak jantan berbeda
dengan betinanya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada umunya sapi Bali
berwarna merah keemasan. Sapi Bali betina dan sapi jantan muda berwarna merah
bata kecoklatan, namun sapi Bali jantan berubah menjadi warna hitam sejak umur
1,5 dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, tetapi bila sapi jantan
dikastrasi/dikebiri warna bulunya akan berubah menjadi merah bata disebabkan
pengaruh hormon testosteron (Payne dan Rollinson, 1973; National Research
Council, 1983; Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Disamping itu terdapat juga
sapi putih dan hitam dengan warna yang tetap tidak berubah disebut sapi
"injin" (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Kadang-kadang bulu putih
terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang
merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1%
(Handiwirawan, 2003). Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus)
pendek-pendek dan mengkilap. Ciri khas pada warna bulu lainnya di bagian
punggung terdapat warna hitam yang jelas dari bahu dan berakhir di atas ekor
seperti garis lurus.
Karakter
ukuran tubuh Sapi Bali :
|
Bentuk tubuh sapi Bali menyerupai banteng, tetapi
ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Secara umum ukuran
badan sapi bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada
dalam, badan padat dengan perdagingan yang kompak, kepala agak pendek,
telinga berdiri dan dahi datar. Bulu sapi Bali umumnya pendek, halus dan
licin. Sapi Bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari
sapi Bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke
bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25-30 cm dengan
jarak anata kedua ujung tanduk 45-65 cm. Sapi Bali jantan dan betina tidak
memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973;
National Research Council, 1983)
Ukuran tubuh sapi Bali termasuk
dalam kategori sedang dimana sapi Bali betina lebih kecil dibandingkan dengan
jantan. Ukuran tubuh sapi Bali juga sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya
yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan di daerah pengembangan. Sebagai
gambaran umum ukuran tubuh yang dilaporkan Pane (1990) dari empat lokasi
berbeda (Bali, NTT, NTB dan Sulawesi selatan) diperoleh rataan tinggi gumba
antara 122-126 cm (jantan) dan 105-114 cm (betina); panjang badan 125-142 cm
(jantan) dan 117-118 cm (betina); lingkar dada 180-185 cm (jantan) dan
158-160 cm (betina). Rataan ukuran tubuh lainnya tinggi panggul 122 cm, lebar
dada 44 cm, dalam dada 66 cm, lebar panggul 37 cm
|
|
Karakteristik
umum sifat-sifat reproduksi sapi Bali :
|
Umur dewasa kelamin rata-rata 18-24 bulan untuk
betina dan 20-26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991);
umur kawin pertama betina 18-24 bulan dan jantan 23-28 bulan; beranak pertama
kali 28-40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978; Davendra et
al., 1973; Payne dan Rollinson, 1973) dengan lama bunting 285-286 hari
(Darmadja dan Suteja, 1975) dan jarak beranak 14-17 bulan (Darmadja dan
Sutedja, 1976) dengan persentase kebuntingan 80-90% dan persentase beranak
70-85% (Pastika dan Darmadja, 1976; Pane, 1991). Rata-rata siklus estrus
adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari,
sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari (Pane, 1979)
selama 36 – 48 jam berahi dengan masa subur antara 18 – 27 jam (Pane 1979;
Payne, 1971) dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan
(Pane, 1979). Sapi Bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus),
66% dari sapi Bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – januari dan 71%
dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan
: betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976). Persentase
kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi Bali berturut-turut adalah
7,03% dan 3,59% (Darmadja dan Suteja, 1976). Persentase kematian pada umur
dewasa sebesar 2,7% (Sumbung et al., 1976).
Berat lahir sapi Bali untuk anak
betina sebesar 15,1 kg dan 16,8 kg untuk anak jantan (Subandriyo et al.,
1979) dengan kisaran 12-17 kg (Talib et al., 2003), di Malaysia sebesar 16,7
kg (Devendra et al., 1973) dan Australia sebesar 16-17 kg (Kirby, 1979).
Sedangkan berat lahir sapi Bali pada pemeliharaan dengan mono kultur padi,
pola tanam padi-palawija dan tegalan masing-masing sebesar 13,6, 16,8 dan
17,3 kg (Darmaja, 1980). Berat sapih kisaran antara 64,4-97 kg (Talib et al.,
2003), untuk sapih jantan sebesar 75-87,6 kg dan betina sebesar 72-77,9 kg
(Darmesta dan Darmadja, 1976); 74,4 kg di Malaysia (Devendra et al., 1973);
82,8 kg pada pemeliharaan lahan sawah, 84,9 kg dengan pola tanam padi –
palawija, 87,2 kg pada tegalan (Darmadja, 1980). Berat umur setahun berkisar
antara 99,2-129,7 kg (Talib et al., 2003) dimana sapi betina sebesar 121-133
kg dan jantan sebesar 133-146 kg (Lana et al., 1979). Berat dewasa berkisar
antara 211-303 kg untuk ternak betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan
(Talib et al., 2003). Sedangkan pertambahan bobot badan harian sampai umur 6
bulan sebesar 0,32-0,37 kg dan 0,28-0,33 kg masing-masing jantan dan betina
(Subandriyo et al., 1979; Kirby, 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai
manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23-0,27
kg (Nitis dan Mandrem, 1978); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et
al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25-0,42 kg (Nitis, 1976);
pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978).
Sapi Bali memiliki sedikit lemak,
kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup
tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan
tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak
13-14% (Sukanten, 1991).
Sapi Bali mempunyai peranan
penting dalam kehidupan masyarakat selain sebagai penghasil daging, petani
kecil memanfaatkannya sebagai ternak kerja, penghasil pupuk, dan tabungan. Di
Pulau Bali, sapi Bali digunakan untuk pariwisata upacara keagamaan seperti
acara ”gerumbungan” atau lomba adu sapi dan upacara ”Pitra Yadnya” atau
sarana pengantar roh ke surga khususnya sapi Bali yang berwarna putih
|
|
|
|
Penampilan
produksi sapi Bali (Pane, 1990)
|
|
Permasalahan
|
R A T A - R A T A
|
Sul-Sel
|
NTT
|
NTB
|
Bali
|
P3Bali
|
B.C.
|
Berat lahir (kg)
Berat sapih (g)
Berat setahun (kg)
Berat 1,5 tahun betina
Berat 1,5 tahun jantan
BB betina siap kawin (kg)
BB jantan siap kawin (kg)
Berat dewasa (5thn) btn
Berat dewasa (5thn) jtn
|
13
70
112,5
150
162
165
215
224
337
|
13,5
71,4
115
154
165
167
220
235
355
|
14,3
72
118,4
160
171
168
240
238,5
363
|
16
86
127,5
167,4
182
170
255
264
395
|
17
90
134
178,8
193
173
265
278
450
|
18
97
143
190
207
180
270
300
494
|
|
|
|
|
|
|
|
Umur betina siap kawin (bln)
Umur jantan siap kawin (bln)
Persentase kelahiran
Jarak kelahiran
Tingkat kesuburan (%)
Conseption rate
|
24
28
76
480
82
-
|
23
26
70
521
-
-
|
22
26
72
507
-
-
|
20,7
2
69
530
83
85,9
|
20
24
88
450
86
88
|
18
23
83
441
89
90
|
|
|
|
|
|
|
|
Ukuran tubuh dewasa
Jantan :
|
|
|
|
|
|
|
- Lingkar dada (cm)
- Tinggi gumba (cm)
- Panjang badan (cm)
|
181,4
122,3
125,6
|
180,4
126,0
134,8
|
182
125,2
133,6
|
185,8
125,4
136,3
|
190,1
127,4
142,8
|
198,8
130,1
146,2
|
Betina :
|
|
|
|
|
|
|
- Lingkar dada
- Tinggi gumba
- Panjang badan (cm)
|
160,0
105,4
116,2
|
158,6
114,0
1184
|
160,0
112,5
118,0
|
160,8
113,6
118,2
|
166,1
113,8
118,7
|
174,2
114,4
119,6
|
|
|
|
|
|
|
|
Keguguran dini (%)
Keguguran
Lahir mati
Lahir lemah
Kematian pedet pra sapih (%)
Kematian sapi muda
Kematian sapi dewasa (%)
|
-
-
-
-
7
-
2,7
|
-
-
-
-
35
-
-
|
7,8
3,1
-
-
9
-
-
|
7,4
2,7
-
-
8,21
-
3
|
7,1
2,5
2,1
1,6
5,2
3,9
2
|
5,0
2,1
0
0
5,35
2,7
2
|
|
|
|
|
|
|
Manfaat yang dapat diperoleh dari pemeliharaan ternak
sapi:
1. Menciptakan lapangan kerja bagi
keluarga
2. Mendapatkan pupuk kandang dari
kotorannya, yang saat ini sangat terasa karena pupuk buatan tidak lagi
disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya sangat mahal. Untuk menggantikan
sebagian pupuk nitrogen, petani dapat memanfaatkan urin sapi untuk disiramkan
pada tanaman pertanian.
3. Dapat memanfaatkan tenaga sapi untuk
pengolahan lahan dan bentuk tenaga kerja lainnya.
4. Hasil jual ternak, baik yang didapat
dari pertambahan berat badan maupun yang didapat dari tambahan anak.
Dari manfaat tersebut diatas, memelihara sapi
merupakan suatu usaha yang menguntungkan. Untuk mendapatkan kesuksesan dalam
pemeliharaan ternak, perlu kiranya pengetahuan yang menunjang keberhasilan
beternak, yang secara garis besar akan diuraikan lebih lanjut.
2. KANDANG
Untuk menuju usaha ternak yang berhasil harus dimulai
dari membuat kandang, karena kandang merupakan tempat dimana sapi akan
menghabiskan sebagian besar waktunya, terutama sapi-sapi yang digemukan di
kandang. Kandang yang baik tidak selalu harus dibuat dari bahan-bahan yang
mahal, karena dapat dibuat dengan memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat di
sekitar kita, misalnya menggunakan bambu, batang kayu yang cukup besar, dan
bahkan untuk atap dapat menggunakan rumbia/alang-alang. Namun demikian, bahan
yang dianjurkan adalah bahan yang dapat bertahan lama.
Dalam membuat kandang (yang sederhana sekalipun)
dituntut untuk dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Untuk hal ini,
perlu diperhatikan beberapa aspek yang diuraikan di bawah ini:
2. 1. Tata Letak Kandang
Bangunan kandang sebaiknya dibuat dengan jarak 6-10 m
dari rumah, dan jangan sampai mendirikan kandang yang berhimpitan dengan rumah
kita. Ventilasi udara kandang dapat mengalir dengan lancar dan seyogyanya dapat
diusahakan untuk menghadapkan kandang ke Timur agar sinar matahari pagi dapat
menyinari kandang dan bagian dalamnya. Kandang sebagai pelindung ternak harus
dapat melindungi ternak dari panas, hujan, dan terpaan angin secara langsung
yang kuat, terutama di malam hari.
2. 2. Ukuran dan Bentuk Kandang
Ruangan kandang yang dibutuhkan agar sapi dapat
leluasa serta nyaman untuk tinggal di dalamnya adalah sekitar 1,8 x 2 m2/ekor.
2. 3. Lantai dan Atap Kandang
Prinsip didalam pembuatan lantai kandang adalah
mengkondisikan agar kandang selalu kering atau tidak becek, sehingga dalam
pembuatannya agar memperhatikan kemungkinan tergenangnya air seni dan kotoran.
Untuk itu, lantai kandang diusahakan dibuat dari bahan yang padat, misalnya
dengan lantai semen, atau dengan tanah yang dipadatkan. Untuk menghindari
tergenangnya air seni, lantai kandang harus dibuat miring, yang kemudian
dibagian paling rendah dibuat parit untuk menyalurkan air seni ke bak
penampung.
Untuk melindungi ternak dari panas dan hujan, kandang
harus dilengkapi dengan atap, yang dapat menggunakan genteng atau seng, atau
secara sederhana dapat memanfaatkan daun rumbia atau alang-alang.
2. 4. Perlengkapan Kandang
Kandang yang baik haruslah dapat memberikan rasa yang
nyaman untuk ternak. Untuk itu, perlengkapan kandang seperti tempat pakan dan
minum harus disediakan. Pakan ternak, baik hijauan maupun konsentrat (misalnya
dedak, ampas tahu) tidak dapat diletakkan begitu saja, karena pakan yang
diletakkan begitu saja dapat tercampur kotoran sapi dan tercemar telur cacing
yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Tempat pakan dan minum diusahakan agar
tidak mudah kena kotoran sapi, sehingga sering diletakkan di bagian depan
(kepala) untuk sapi yang diikat atau diletakkan di sisi luar pembatas kandang.
Fasilitas lain yang seyogyanya tersedia adalah kandang
jepit (kandang sempit) yang berguna untuk penanganan pengobatan atau layanan
perkawinan.
2. 5. Pemeliharaan Kandang
Kandang sapi harus dibersihkan setiap hari, dan
kotoran sapi harus ditampung di tempat penampungan kotoran sehingga tidak
mengganggu aliran air seni menuju bak penampungan air seni. Penampungan kotoran
harus dibuat sedemikian rupa agar kotoran sapi tersebut tidak mengganggu
lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Untuk mencegah agar
kotoran sapi tidak mengganggu lingkungan dan pupuk kandang yang dihasilkan
mempunyai kualitas yang baik, kotoran sapi yang ditampung di penampungan
haruslah dilindungi dari air hujan dengan memberi atap yang sederhana.
3. MEMILIH SAPI BALI
Memilih bibit yang baik merupakan salah satu aspek
yang penting di dalam produksi ternak. Hal ini dapat dipahami karena
pedet-pedet yang baik hanya diturunkan oleh induk-induk yang baik. Untuk itu,
sapi bibit (Bali) sebaiknya dipilih sesuai dengan standar dari bangsa sapi yang
dimaksud. Selain standar ukuran dari sapi yang dimaksud, aspek lain yang
digunakan di dalam kriteria pemilihan sapi bibit/calon bibit adalah sifat
genetis (sifat yang diturunkan), bagian luar, kesehatan, dan ukuran tubuh sapi.
hal lainnya yang harus diperhatikan adalah umur ternak, sehingga banyak
pertimbangan yang harus diperhatikan dalam memutuskan apakah sapi tersebut
layak digunakan sebagai bibit atau tidak.
Memilih sapi untuk calon bibit/bibit:
1. Pilihlah sapi dara
yang penampilannya mencerminkan sapi yang sehat, matanya jernih, selaputnya
tidak kotor atau merah, bulu badannya halus serta mengkilat.
2. Kondisi tubuhnya
padat berisi, tapi tidak gemuk
3. Bagian leher dan
bahunya lebar
4. Bagian dada lebar,
dalam dan menonjol ke depan
Memilih sapi jantan untuk digemukkan.
1. Pilihlah sapi jantan
yang berat lahirnya tinggi dan memiliki pertumbuhan yang cepat.
2. Berkaki pendek dengan
kondisi tubuh yang baik dan berbentuk segi empat
3. bagian bahu dan
bagian lehernya lebar
4. Bagian dada lebar,
dalam, dan menonjol ke depan.
Ukuran minimum vital statistik bibit sapi Bali
Ukuran menurut jenis kelamin
|
Muda
|
Dewasa
|
Jantan
|
|
|
Panjang badan
|
127 cm
|
134 cm
|
Tinggi gumba
|
112 cm
|
126 cm
|
Lingkar dada
|
185 cm
|
193
|
Umur
|
2-3,5 tahun
|
maks 8 tahun
|
|
|
|
Betina
|
|
|
Panjang badan
|
116 cm
|
120 cm
|
Tinggi gumba
|
105 cm
|
115 cm
|
Lingkar dada
|
162 cm
|
115 cm
|
Umur
|
2,35 tahun
|
maks 8 tahun
|
Sumber : Buku saku peternakan Direktorat Penyuluhan
Peternakan, 1975
4.PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN
Pakan merupakan sumber zat gizi yang diperlukan untuk
hidup pokok dan pertumbuhan. Karena pakan merupakan sumber zat gizi, ternak
sapi tidak saja perlu pakan dalam jumlah yang cukup (kuantitasnya) namun juga
diperlukan pakan yang berkualitas. Pakan yang baik (berkualitas) banyak
mengandung zat gizi yang diperlukan ternak, sehingga kombinasi pakan yang
berkualitas dengan jumlah (kuantitas) yang cukup akan memberikan peluang kepada
ternak yang dipelihara untuk mendapatkan sejumlah zat gizi untuk keperluan
pertum-buhannya.
Secara umum, pakan ternak dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Pakan serat: hijauan pakan ternak
(rumput-rumputan, kacang-kacangan, dan daunan lainnya), dan jerami (jerami
padi, jagung, kacang tanah dan sebagainya)
2. Pakan penguat atau konsentrat.
Pakan serat: Pakan
serat merupakan sumber pakan yang tersedia dalam jumlah banyak. Di alam, pakan
serat sering tersedia dalam bentuk rumput-rumputan, kacang-kacangan, dan limbah
pertanian tanaman pangan. Diantara ketiga jenis pakan serat tersebut,
kacang-kacangan merupakan sumber pakan serat yang mempunyai kandungan protein
kasar yang paling tinggi dibanding dengan dua lainnya (rumput-rumputan dan
limbah pertanian). Kualitas pakan serat biasanya dipengaruhi oleh umur tanaman,
sehingga hijauan tanaman pakan yang dipotong pada umur yang lebih tua akan menghasilkan
kualitas pakan yang lebih rendah dengan ditunjukkannya kandungan protein kasar
yang rendah dan kandungan serat yang tinggi. Oleh karena itu, limbah pertanian
tanaman pangan yang dipanen pada umur tua (setelah diambil hasil utamanya)
mempunyai kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput.
Jenis rumput unggul yang digunakan untuk pakan ternak:
Rumput gajah (Pennisetum
purpureum), merupakan tanaman tahunan, membentuk rumpun, tingginya dapat
mencapai lebih dari 2 m. Rumput ini disukai oleh ternak, khususnya sapi, dan
produksinya tinggi. Di daerah yang cukup pengairannya dapat mencapai 290 ton
segar/ha/th.
Rumput benggala (Panicum
maximum), merupakan tanaman tahunan yang membentuk rumpun, tingginya dapat
mencapai lebih 2 m, mempunyai gizi yang baik, dan disukai oleh ternak.
Produksinya dapat mencapai 115 ton segar/ha/tahun.
Setaria (Setaria
sphacelata), merupakan rumput tahunan yang membentuk rumpun, dapat mencapai
1,5 m, disukai oleh ternak, produkstif, dan tahan kering.
Rumput raja (dikenal
sebagai King Grass), merupakan silangan dari rumput gajah, produksinya lebih
tinggi dari rumput gajah, tidak berbunga, ditanam dengan menggunakan stek.
Jenis rumput unggul lainnya antara lain rumput
meksiko (Euclaena mexicana), dan rumput bede (Brachiaria
decumbens).
Jenis tanaman legum untuk pakan ternak:
Lamtoro (Leucaena
leucocephala), merupakan tanaman legum pohon yang multi guna. Banyak
ditanam untuk diambil kayunya, daun, dan buahnya. Sebagai pakan ternak, lamtoro
merupakan pakan sumber protein yang tinggi dan disukai oleh ternak. Diberikan
ternak untuk pakan campuran. Bahan pakan ini mengandung mimosin yang memberikan
pengaruh pada ternak yang sensitif, terutama ternak muda.
Gamal (Gliricidea
maculata), merupakan tanaman pohon, biasnya ditanam sebagai tanaman pagar.
Tanaman ini biasanya ditanam dengan menggunakan batangnya (stek). Daun gamal
sangat baik untuk pakan ternak, namun untuk ternak yang belum terbiasa mungkin
kurang menyukainya. Biasanya daun gamal diberikan kepada ternak setelah dilayukan
terlebih dahulu.
Kaliandra. Kaliandra
merupakan tanaman legum pohon yang banyak ditanam sebagai pakan ternak.
Kaliandra diberikan kepada ternak sebagai campuran rumput guna meningkatkan
protein pakan.
Indigo (Indigofera spp), merupakan tanaman perdu yang
membentuk kayu (pohon), daunnya mirip dengan daun gamal. Baik sekali sebagai
pakan ternak dan diketahui tahan terhadap kekeringan.
Desmodium (Desmodium
rinsonii), merupakan tanaman legum pohon yang berdaun bulat, sangat disukai
oleh ternak dan kandungan proteinnya tinggi. Ditanam sebagai tanaman pembatas
dengan jarak tanam yang rapat. Tanaman ini dipotong dengan ketinggian 50 cm
dari permukaan tanah yang kemudian tumbuh tunas baru.
Centro (Centrocema
pubescens), merupakan tanaman legum penutup tanah (LCC) yang tumbuh
menjalar. Biasanya dijumpai tumbuh bersama tanaman lain ditempat terbuka. Jenis
tanaman legum penutup tanah lainnya yang dapat digunakan sebagai pakan ternak
adalah Puero (Pueraria javanica), Siratro (Macroptilium
atropurpureum) dan masih banyak lagi.
Limbah pertanian tanaman pangan.
Banyak limbah pertanian tanaman pangan yang dapat
digunakan sebagai pakan ternak sapi, seperti jerami padi, jerami jagung, jerami
kacang tanah, dan masih banyak lagi. Sebagai pakan ternak, seperti telah
diuraikan di depan, limbah pertanian kualitasnya lebih rendah dibandingkan
dengan rumput kecuali limbah kacang-kacangan.
Pakan Penguat atau Konsentrat.
Pakan penguat atau konsentrat adalah pakan ternak yang
mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Kalau dibandingkan dengan pakan serat,
pakan penguat diperlukan dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pakan
serat untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang sama. Biasanya pakan penguat
atau konsentrat mempunyai nilai yang lebih mahal per satuan berat dibandingkan
dengan pakan serat. Namun demikian, hal ini tidak selalu karena ada beberapa
limbah pengolahan produk pertanian yang mungkin nilainya tidak mahal atau
tersedia melimpah (untuk tempat-tempat tertentu), misalnya ampas tahu.
Pakan penguat diberikan ternak untuk melengkapi
kebutuhan gizi apabila diperhitungkan kurang dari kebutuhan ternak. Macam atau
jenis pakan penguat misalnya: dedak padai, dedak jagung, bungkil kelapa,
bungkil kacang tanah, bungkil kedelai, bungkil biji kapok, tetes tebu, ampas
tahu, dan masih banyak bahan lainnya.
Pemberian Pakan
Untuk pembibitan dan penggemukan sapi, pemberian pakan
di kandang sangat menguntungkan mengingat peternak dapat mengontrol jumlah dan
kualitas pakannya. Ternak yang ada di kandang dirumputkan dari kebun rumput
atau kebun hijauan yang ada. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
pakan ternak adalah:
- Rumput yang diberikan adalah rumput yang
berkualitas baik, yaitu rumput yang dipotong pada saat menjelang berbunga
(karena pada kondisi ini dicapai kualitas dan kuantitas zat gizi yang
optimal).
- Banyaknya hijauan yang diberikan dalam jumlah
cukup untuk pertumbuhan, kira-kira 10% rumput segar dari berat badannya.
Misalnya berat sapi 150 kg, rumput yang disediakan tidak kurang dari 15 kg
rumput per hari.
- Usahakan diberikan campuran hijauan leguminosa
(kacang-kacangan) untuk meningkatkan kualitas pakannya (menambah protein
pakan). Jumlah hijauan leguminosa kira-kira 1% dari berat badannya. Untuk
sapi dengan berat 150 kg sebagai contoh di atas perlu tambahan daun
leguminosa 1,5 kg.
- Usahakan hijauan pakan yang diberikan, baik
rumput maupun leguminosa dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan
kepada ternak.
- Jangan memanen rumput/leguminosa terlalu muda,
karena dapat menyebabkan diare/mencret dan kembung.
- Apabila pakan penguat dipandang perlu untuk
diberikan, sediakan sebanyak 1 % dari berat badan, seperti halnya hijauan
leguminosa.
5. PERKAWINAN DAN KELAHIRAN SAPI BALI
Sapi Bali merupakan jenis sapi yang diketahui yang
mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi. Fertilitasnya lebih banyak dipengaruhi
oleh panjangnya masa birahi daripada pengaruh lingkungan. Secara teori, sapi
yang mempunyai masa birahi lebih panjang akan lebih fertil dibandingkan dengan
sapi yang masa birahinya pendek.
Kemampuan sapi bali menghasilkan anak dalam setahun
berkisar 80-86%, dengan kematian anak yang relatif rendah, yaitu berkisar
1,87%. Pada pemeliharaan yang ekstensif (digembalakan) kematian anaknya lebih
tinggi karena ditinggal induknya di semak-semak. Untuk itu pemeliharaan
dikandang dapat menekan kematian anak sapi yang dilahirkan.
Kemampuan reproduksi sapi bali sangat baik, sapi
betina dikawinkan pertama kali pada umur 2-2,5 tahun, dimana perkembangan tubuh
dan organ reproduksinya sudah sempurna. Jarak melahirkan anak sapi berkisar
12-14 bulan, tergantung dengan cara pengelolaannya. Indeks kebuntingan sapi
bali kira-kira 1,2 yang artinya sapi betina menjadi bunting setelah dikawinkan
1,2 kali (paling tidak sekali).
Sistem perkawinan.
Perkawinan sapi bali biasanya dilakukan dengan dua
cara, yaitu secara (1) alami (kawin dengan sapi jantan pemacek) dan (2)
inseminasi buatan.
Perkawinan secara alami biasanya tidak dihasilkan anak
yang baik, mengingat sapi jantan pemaceknya tidak cukup baik. Untuk mendapatkan
anak sapi yang baik, perkawinan dengan inseminasi buatan lebih menjanjikan
mengingat inseminasi buatan menggunakan sperma dari sapi pejantan unggul
(pilihan).
Untuk terjadi kebuntingan, harus diperhatikan saat
perkawinannya. Sapi bali betina tidak dapat dikawinkan setiap saat. Perkawinan
dapat dilakukan pada saat sapi betina birahi (minta kawin) yang terjadinya
setiap 21 hari (satu siklus). Sapi betina yang sedang birahi akan tetap berdiri
ditempatnya apabila dinaiki oleh pejantan. Tanda-tanda sapi birahi lainnya sama
dengan ternak lain secara umum, yaitu:
1. Sapi gelisah dan tidak tenang.
2. Sapi sering menguak/melenguh
3. Sapi mencoba menaiki ternak lainnya dan
akan tetap diam kalau dinaiki sapi lainnya
4. Pangkal ekornya sering terangkat
sedikit dan kadang-kadang keluar cairan jernih transparan yang mengalir dari
kemaluannya.
5. Sapi dara sering ditunjukkan dengan
membengkaknya bagian vulva dan kadang berwarna kemerahan.
6. Adakalanya sapi menjadi pendiam dengan
nafsu makan yang kurang.
Pelaksanaan perkawinan.
Setelah terlihat tanda-tanda birahi, sapi harus cepat
dikawinkan. Perkawinan dapat dilakukan secara alami atau dengan inseminasi
buatan seperti telah diuraikan di depan. Kalau akan dilakukan inseminasi
buatan, laporkan sapi yang sedang birahi kepada petugas (inseminator) yang
telah ditunjuk oleh Dinas Peternakan setempat.
Menentukan kebuntingan
Secara sederhana, kebuntingan dapat diamati 21 setelah
perkawinan dilakukan. Kalau tidak ditunjukkan tanda-tanda birahi, berarti
kebunting telah terjadi, namun apabila tanda-tanda birahi muncul lagi, berarti
perkawinan perlu diulang. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan
perabaan, yang hanya dilakukan oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman.
Lama bunting sapi bali berkisar280-285 hari. Setelah anak sapi lahir,
induk sapi dapat dikawinkan lagi setelah 3 bulan melahirkan. Untuk menjaga
kebuntingan, sapi bunting harus dipisahkan dari sapi lainnya.
Mempersiapkan Kelahiran.
Beberapa hari menjelang melahirkan, induk yang bunting
akan menunjukkan tanda-tanda:
1. Ambing membesar dan
kencang
2. Urat daging disekitar
vulva mengendor, dan di kanan-kiri pangkal ekor kelihatan legok.
3. Beberapa saat
menjelang melahirkan, sapi gelisah.
Apabila tanda-tanda tersebut muncul, kandang harus
dibersihkan dari kotoran dan diberi alas dengan jerami kering.
Pertolongan yang sering dilakukan adalah menarik kaki
anak sapi yang baru lahir, namun harus dilakukan dengan hati-hati. Gerakan
penarikan harus sesuai dengan irama dengan kontraksi/pengerahan tenaga yang
dilakukan oleh induk.
Setelah melahirkan, induk sapi biasnya membersihkan
lendir yang menempel pada anaknya dengan jilatan-jilatan. namun apabila
induknya lemah dan tidak mampu segera melakukannya, maka kita perlu menolong membersikannya,
terutama yang mengganggu lubang pernafasannya.
Supaya kelahiran berjalan lancar, induk sapi yang akan
beranak diberi kesempatan bergerak kira-kira 2-3 minggu menjelang melahirkan.
6. PENCEGAHAN PENYAKIT
Agar ternak sapi yang kita pelihara tidak terserang
penyakit, pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
- Menjaga sanitasi kandang dengan membersihkan dan
mengusahakan tidak becek
- Mengikuti program vaksinasi oleh Dinas Peternakan
atau POSKESWAN
- Menjaga kebersihan badan sapi dengan cara
memandikannya secara berkala
- Mengobati luka-luka yang ada dan memberika
desinfektan
- Selalu menghubungi POSKESWAN/Petugas Kesehatan
Hewan terdekat untuk mendapatkan perawatan apabila ada ternak yang sakit.
DAFTAR PUSTAKA
|
|
Aalfs,
H.G. 1934. De Rundeveeteelt op het Eiland Bali,
Poefschrift. H.J. Smith. Utrecht.
Anonimous. 1985. Performans Sapi Bali di NTT., BPT-Direktorat Bina
Produksi Peternakan. Ditjennak. Departemen Pertanian.
Darmadja, S. G. N. D. 1980. Half a century, traditional cattle
husbandry within the agricultural ecosystem of Bali. Thesis, Universitas
Pajajaran. Bandung.
Darmesta, I.N. dan D. Darmadja. 1976. Berat sapih sapi Bali. Pros.
Reproduksi dan Performans Sapi Bali. Dinas Peternakan. Daerah Tk I. Bali.
Devendra, C. T., K. C. Lee, and Pathmasingam. 1973. The productivity
of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agri. Journal 49:183-197.
Entwistle, K., C. Talib, A. Siregar, S. |Budiarti-Turner, D. Lindsay. 2001.
Bali cattle performance current population dynamics and some strategies for
improvement (a preliminary report). Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Handiwirawan, E. 2003. Penggunaan Mikrosatelit HEL9 dan INRA035
sebagai Penciri Khas Sapi Bali. Tesis. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Hardjosubroto, W. dan Astuti, M. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Herweijer, C.H. 1950. Enkele aantekeningen btreffende de geschiendenis
van de runderveeteelt op het Eiland Timor. Hemera Zoa 56: 689.
Ditjennak-IPB. 1978. Performans sapi Bali dan Ongole di Bali dan NTB.
Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan IPB.
Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia. World Rev. Anim. Prod.
3:24-30.
Lana, I.K., I.B. Djagra dan P. Sutedja. 1979. Pertambahan lingkar
dada, berat badan dan korelasinya pada sapi Bali betina. Pros. Seminar
Keahlian di Bidang Peternakan Sapi Bali. Fakultas Kedokeran Hewan dan
Peternakan. Univ. Udayana.
Martojo, H. 1984. Spesifikasi Teknis Bibit Ternak Sapi Bali, Sapi
Ongole dan Sapi Madura. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Ditjennak.
Departemen Pertanian.
Mathius, W. dan I.M. Nitis. 1976. Tabiat makan sapi Bali yang
digembalakan vs yang dipatokan di tegalan. Lemb. LPP. Bogor.
Meijer, W.C.P. 1962. Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Witterberg
Lutherstandt.
Moran, J.B. 1978. Perbandingan “performance” jenis sapi daging di
Indonesia. Prosiding Seminar Ruminansia. Ciawi 24-25 Juli 1978. Direktorat Jenderal
Peternakan. Depatemen Pertanian. Bogor.
National Research Council. 1983. Little-Konwn Asian Animals with a
Promising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press.
Nitis, I.M. dan Mandrem. 1978. Korelasi antara tambahan berat badan dengan
makanan yang dimakan dan dengan tabiat makan sapi Bali yang dikandangkan.
Pros. Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan dan IPB. Bogor
Nozawa, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals
in East and Southeast Asia. Proc. Workshop Animal Genetic Resources in Asia
and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Society for the Advancement of
Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Tsukuba. Hlm. 23-43.
Oka, I. G.L. dan D. Darmadja. 1996. History and development of Bali Cattle.
Proc. Seminar on Bali cattle, a Special Species for the Dry Tropics. 21
September 1996. Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP),
Udayana University Lodge, Bukit Jimbaran, Bali.
Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Prosiding Seminar
Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas
Hassanudin. Ujung Pandang.
Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds,
and Breeding Policies. Blackwell Sciences.
Payne, W.J.A. and Rollinson, D.H.L. 1973. Bali Cattle. World Anim. Rev.
7, 13–21
Pulungan, H. dan K. Ma’sum. 1978. Performance sapi Bali dan hasil
persilangan dengan Sapi Herford dan Shorthorn. Seminar Ruminansia. Ditjen
Peternakan dan IPB. Bogor.
Rollinson, D.H.L. 1984. Bali Cattle. In : Evolution of Domestic
Animals. Mason. I.L. (Ed). New York. Longman.
Subandriyo, P. Sitorus, M. Zulbardi dan R. Ambar. 1979. Performan sapi
Bali. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia 1:8.
Sumbung, F.P. 1977. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar
Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan, P4 dan Fapet IPB. Bogor.
Surjoatmodjo, M. 1992. Asal-usul Sapi Madura Ditinjau dari Haisl
Pengukuran Bagian-Bagian Tubuhnya. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil
Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Ciawi-Bogor, 11-12 Oktober 1992.
Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay.
2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and
existing breeding programs in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on
“Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”. Denpasar, Bali.
|
Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya, PT.
Jakarta.
Skerman, P.J. 1977. Tropical Forage Legumes. Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Skerman, P.J. and Reveros, F. 1989. Tropical Grasses.
Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Tomaszewaka, M. W., Sutama, I.K., Putu, I.G. dan
Chaniago, T.D. 1991. Reproduksi, Tingkah laku, dan Produksi Ternak di
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta