Senin, 26 Maret 2012

seleksi bibit sapi


SELEKSI SAPI
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dalam bidang peternakan, maka pengembangan perbibitan ternak diarahkan pada peningkatan mutu ternak, sumber daya ternak, daya dukung wilayah, pengawasan mutu dan penguasaan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas ternak.
Untuk mendapatkan bibit sapi potong yang bermutu perlu di lakukan pengawasan mutu bibit sesuai dengan standar, salah satu langkah pengawasan adalah perlunya di lakukan pemilihan/ penilaian sapi potong. Seleksi atau pemilihan sapi yang akan dipelihara merupakan salah satu faktor penentu dan mempunyai nilai strategis dalamnupaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging, sehingga diperlukan upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan.

II. KRITERIA PEMILIHAN BIBIT SAPI POTONG
Pemilihan ternak sapi untuk di pelihara atau sebagai calon pengganti bibit, memerlukan keterampilan khusus, terutama untuk melatih pandangan serta penilaian akurat. Keberhasilan pemilihan ternak sapi yang akan di pelihara akan sangat menentukan keberhasilan usaha ternak walaupun semua bangsa dan tipe sapi bisa di jadikan bibit pengganti, namun agar diperoleh sapi hasil yang baik diperlukan bangsa dan tipe sapi tertentu yang laju pertumbuhannya cukup dan mutunyapun bagus serta mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya.
Sehubungan pemilihan calon bibit ternak perlu mengetahui kriteria pemilihan sapi dan
pengukuran sapi, sebab pada saat peternak melakukan pemilihan diperlukan pengetahuan, pengalaman dan kecakapan yang cukup diantaranya adalah:
1. Bangsa dan Sifat Genetik
Setiap peternak yang akan memelihara, membesarkan ternak untuk dijadikan calon bibit pertama-tama harus memilih bangsa sapi yang paling disukai atau telah popular, baik jenis import maupun lokal. Kita telah mengetahui bahwa setiap bangsa sapi memiliki sifat genetik yang berbeda satu dengan yang lain, baik mengenai daging ataupun kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya dalam hal beradaptasi dengan lingkungan ini antara lain penyesuaian iklim dan pakan, berpangkal dari sifat genetik suatu bangsa sapi yang bisa diwariskan kepada keturunannya, maka bangsa sapi tertentu harus dipilih oleh setiap peternak sesuai dengan tujuan dan kondisi setempat, pemilihan ini memang cukup beralasan sebab peternak tidak akan mau menderita kerugian akibat faktor lingkungan yang tidak menunjang. Beberapa jenis bangsa sapi potong yaitu :
Ongole, Peranakan Ongole, Brahman, Limousine, Simmental, Angus, Brangus,
Bali, Madura, Chorolais dan Santa Gertrudis.
2. Kesehatan
Bangsa sapi baik sapi sebagai calon bibit ataupun sebagai penghasil daging harus di pilih dari sapi yang benar-benar sehat. Untuk mengetahui kesehatan sapi secara umum, peternak bisa memperhatikan keadaan tubuh, sikap dan tingkah laku, pernapasan, denyut jantung, pencernaan dan pandangan sapi.
Keadaan tubuh
1. Sapi sehat, keadaan tubuh bulat berisi, kulit lemas.
2. Tidak adanya eksternal parasit pada kulit dan bulunya, tidak ada tandatanda kerusakan dan kerontokan pada bulu (licin dan mengkilat).
3. Selaput lendir dan gusi berwarna merah muda, lebih mudah bergerak bebas.
4. Ujung hidung bersih, basah dan dingin.
5. Kuku tidak terasa panas dan bengkak bila diraba.
6. Suhu tubuh anak 39,5 C – 40 C.
Sikap dan tingkah laku
1. Sapi sehat tegap.
2. Keempat kaki memperoleh titik berat sama.
3. Sapi peka terhadap lingkungan (ada orang cepat bereaksi).
4. Bila diberi pakan, mulut akan dipenuhi pakan.
5. Cara minum panjang.
6. Sapi yang terus menerus tiduran memberikan kesan bahwa sapi tersebut
sakit atau mengalami kelelahan.
Pernafasan
1. Sapi sehat bernafas dengan tenang dan teratur, kecuali ketakutan, kerja berat, udara panas dan sedang tiduran lebih cepat.
2. Jumlah pernafasan : Anak sapi 30/menit, Dewasa 10-30/menit.
Pencernaan.
1. Sapi sehat memamah biak dengan tenang sambil istirahat/ tiduran.
2. Setiap gumpalan pakan di kunyah 60-70 kali.
3. Sapi sehat nafsu makan dan minum cukup besar.
4. Pembuangan kotoran dan kencing berjalan lancar
5. Bila gangguan pencernaan, gerak perut besar berhenti atau cepat sekali.
6. Proses memamah biak berhenti.
Pandangan mata.
1. Sapi sehat pandangan mata cerah dan tajam.
2. Sapi sakit pandangan mata sayu.
3. Seleksi calon bibit berdasarkan pengamatan/ penampilan fisik
Bentuk atau ciri luar sapi berkorelasi positif terhadap faktor genetik seperti laju pertumbuhan, mutu dan hasil akhir (daging).
Bentuk atau ciri sapi potong yang baik, sebagai berikut :
a. Ukuran badan panjang dan dalam, rusuk tumbuh panjang yang memungkinkan
sapi mampu menampung jumlah makanan yang banyak.
b. Bentuk tubuh segi empat, pertumbuhan tubuh bagian depan, tengah dan
belakang serasi, garis badan atas dan bawah sejajar.
c. Paha sampai pergelangan penuh berisi daging.
d. Dada lebar dan dalam serta menonjol ke depan.
e. Kaki besar, pendek dan kokoh.
Dalam melakukan pemilihan calon bibit, selain menentukan jenis kelamin, usia dan bobot badan, pemilihan bakalan dapat dilakukan dengan pengamatan fisik atau penilaian (Judging) seperti berikut :
Pandangan dari samping
a. Penilaian dilakukan pada jarak 3,0-4,5m.
b. Perhatikan kedalaman tubuhnya, keadaan lutut, kekompakan bentuk tubuh.
Pandangan Belakang
a. Penilaian dilakukan pada jarak + 3,0 m
b. Perhatikan kelebaran pantat kedalaman otot, kelebaran dan
kepenuhannya
Pandangan Depan
a. Penilaian pada jarak + 3,0 m
b. Perhatikan bentuk dan ciri kepalanya kebulatan bagian rusak, kedalaman dada dan keadan pertulangan serta keserasian kaki depan
Perabaan
Penilaian ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui perabaan yang dirasakan melalui ketipisan, kerapatan, serta perlemakannya.
Bagian-bagian daerah perabaan pada penilaian (judging) ternak sapi
a. Bagian rusuk
b. Bagian Tranversusprocessus pada tulang belakang
c. Bagian pangkal ekor
d. Bagian bidang bahu
Penilaian tersebut dilakukan pada setiap individu ternak sapi yang akan dipilih dengan cara mengisikan skor yang sesuai dengan penilaian melalui pengamatan, pandangan dan perabaan. Dalam hal ini penilaian harus dilakukan seobjektif mungkin. Untuk menunjang hasil yang lebih akurat, penilaian tersebut lazimnya dilengkapi lagi dengan pengukuran bagian-bagian tubuh yaitu tinggi pundak/ gumba, panjang badan, lingkar dada dan dalam dada.
4. Penentuan Umur Sapi Potong
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 54/Permentan/OT- 140/10/2006 tentang Pedoman Perbibitan Sapi Potong yang baik. Umur bibit Sapi potong (Bali, Peranakan Ongole, Sumba Ongole, Madura, dan Aceh) untuk Betina : umur 18 – 24 bulan sedang Jantan 24 – 36 bulan .
Untuk mendapatkan informasi umur yang tepat dalam menentukan bibit Sapi Potong ditentukan dengan cara :
- Pencatatan/Recording,
- Menentukan lingkar pada tanduk,
- Menentukan gigi geligi.
Pemilihan terhadap bibit sapi potong meliputi : Sifat kualitatif dan kuantitatif Sifat Kualitatif meliputi :
- Warna bulu jantan dan betina
- Bentuk tanduk jantan dan betina
- Bentuk tubuh jantan dan betina
Sifat Kuantitatif meliputi :
- Berat badan jantan dan betina
- Tinggi gumba jantan dan betina
- Umur jantan dan betina
- Lingkar dada jantan dan betina
- Lebar dada jantan dan betina
- Panjang badan jantan dan betina
- Lingkar skrotum jantan
III. PENUTUP
Bibit Sapi potong merupakan salah satu sarana produksi budidaya ternak yang strategis dan sangat berpengaruh dalam meningkatkan produksi dan produktifitas ternak, sehingga perlu diusahakan tersedianya bibit yang berkualitas yang merupakan Visi Perbibitan, salah satu upaya untuk mendukung hal tersebut adalah pemilihan atau seleksi bibit ternak potong yang didukung oleh peningkatan mutu sumber daya manusia perbibitan sebagai pelaku.

*) Pengawas Bibit Ternak Muda
http://disnaksulsel.info

pemeliharaan sapi bali

Pendahuluan
Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan peternakan di Indonesia adalah upaya dalam pencukupan kebutuhan protein hewani, yang pada gilirannya hal ini akan berpengaruh pada kecerdasan bangsa. Salah satu produk produk protein hewani adalah daging, yang dapat dihasilkan dari berbagai komoditas ternak, baik dari ternak besar, ternak kecil, dan unggas. Ternak besar, terutama sapi, mempunyai peran yang sangat besar dalam penyediaan daging. Daging sapi pada umumnya dihasilkan dari sapi potong, seperti sapi bali, sapi madura, dan sapi peranakan ongole. Selain jenis sapi tersebut, beberapa perusahaan penggemukan yang mempunyai modal kuat menggunakan bibit sapi impor dari Australia. Namun, sejalan dengan krisis yang melanda negara kita akhir-akhir ini menghadapkan kegiatan penggemukan sapi dengan menggunakan sapi impor menjadi usaha sangat berat, bahkan perusahaan penggemukan skala besar pun mencoba mengalihkan usahanya, kalau tidak menutup usahanya. Kondisi yang semacam ini menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi kita untuk mengisi kekurangan suplai daging dengan memberdayakan potensi yang kita punya.
Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang diketahui mempunyai keunggulan-keunggulan dan nyata-nyata disukai oleh petani peternak, sehingga pengembangannya telah merata hampir di seluruh pelosok nusantara. Hal ini sejalan dengan usaha yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu sebagai petani. Ternak sapi merupakan bagian dari sebagian kehidupan petani karena dengan memelihara ternak sapi petani mendapatkan manfaat yang dapat meningkatkan hasil pertanian dan kesejahteraan keluarga petani.

Sapi Bali
1. Sejarah
Sapi Bali (Bos sondaicus) adalah merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia. yang merupakan keturunan asli banteng (Bibos banteng) dan telah mengalami proses domestikasi yang terjadi sebelum 3.500 SM di Indonesia (Rollinson, 1984) selama berabad-abad, diduga di Pulau Jawa atau Bali dan Lombok (Payne dan Rollinson, 1973; Meijer, 1962) karena sampai saat ini masih dijumpai banteng yang hidup liar di beberapa lokasi di Pulau Jawa, seperti di Ujung Kulon dan Pulau Bali menjadi pusat gen sapi Bali (Nozawa, 1979). Sapi Bali dikenal juga dengan nama Balinese cow yang kadang-kadang disebut juga dengan nama Bibos javanicus, meskipun sapi Bali bukan satu subgenus dengan bangsa sapi Bos taurus atau Bos indicus. Berdasarkan hubungan silsilah famili Bovidae, kedudukan sapi Bali diklasifikasikan ke dalam subgenus Bibovine tetapi masih termasuk genus bos. Dari Pulau Bali yang dipandang sebagai pusat perkembangan sekaligus pusat bibit, sapi Bali menyebar dan berkembang hampir ke seluruh pelosok nusantara. Penyebaran sapi Bali di luar Pulau Bali yaitu ke Sulawesi Selatan pada tahun 1920 dan 1927 (Herweijer, 1950; Pane, 1991), ke Lombok pada abad ke-19 (Hardjosubroto dan Astuti (1993), ke Pulau Timor pada tahun 1912 dan 1920 (Herweijer, 1950). Selanjutnya sapi Bali berkembang sampai ke Malaysia, Philipina dan Ausatralia bagian Utara. Sapi Bali diintroduksi ke Australia antara 1827-1849 (National Research Council, 1983).
Ciri – ciri
Sapi Bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam. Ciri khas sapi Bali yang mudah dibedakan dari jenis sapi Indonesia lainnya adalah adanya bulu putih berbentuk oval yang sering disebut mirror atau cermin di bawah ekornya, serta warna putih di bagian bawah keempat kakinya menyerupai kaos/stoking putih. Warna bulu putih juga dijumpai pada bibir atas/bawah, ujung ekor dan tepi daun telinga. Sapi Bali memiliki pola warna bulu yang unik dan menarik dimana warna bulu pada ternak jantan berbeda dengan betinanya, sehingga termasuk hewan dimoprhism-sex. Pada umunya sapi Bali berwarna merah keemasan. Sapi Bali betina dan sapi jantan muda berwarna merah bata kecoklatan, namun sapi Bali jantan berubah menjadi warna hitam sejak umur 1,5 dan menjadi hitam mulus pada umur 3 tahun, tetapi bila sapi jantan dikastrasi/dikebiri warna bulunya akan berubah menjadi merah bata disebabkan pengaruh hormon testosteron (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Disamping itu terdapat juga sapi putih dan hitam dengan warna yang tetap tidak berubah disebut sapi "injin" (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Kadang-kadang bulu putih terdapat di antara bulu yang coklat (merupakan bintik-bintik putih) yang merupakan kekecualian atau penyimpangan ditemukan sekitar kurang dari 1% (Handiwirawan, 2003). Bulu sapi Bali dapat dikatakan bagus (halus) pendek-pendek dan mengkilap. Ciri khas pada warna bulu lainnya di bagian punggung terdapat warna hitam yang jelas dari bahu dan berakhir di atas ekor seperti garis lurus.

Karakter ukuran tubuh Sapi Bali :
Bentuk tubuh sapi Bali menyerupai banteng, tetapi ukuran tubuhnya lebih kecil akibat proses domestikasi. Secara umum ukuran badan sapi bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat dengan perdagingan yang kompak, kepala agak pendek, telinga berdiri dan dahi datar. Bulu sapi Bali umumnya pendek, halus dan licin. Sapi Bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari sapi Bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25-30 cm dengan jarak anata kedua ujung tanduk 45-65 cm. Sapi Bali jantan dan betina tidak memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983)
Ukuran tubuh sapi Bali termasuk dalam kategori sedang dimana sapi Bali betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Ukuran tubuh sapi Bali juga sangat dipengaruhi oleh tempat hidupnya yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan di daerah pengembangan. Sebagai gambaran umum ukuran tubuh yang dilaporkan Pane (1990) dari empat lokasi berbeda (Bali, NTT, NTB dan Sulawesi selatan) diperoleh rataan tinggi gumba antara 122-126 cm (jantan) dan 105-114 cm (betina); panjang badan 125-142 cm (jantan) dan 117-118 cm (betina); lingkar dada 180-185 cm (jantan) dan 158-160 cm (betina). Rataan ukuran tubuh lainnya tinggi panggul 122 cm, lebar dada 44 cm, dalam dada 66 cm, lebar panggul 37 cm
Karakteristik umum sifat-sifat reproduksi sapi Bali :
Umur dewasa kelamin rata-rata 18-24 bulan untuk betina dan 20-26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991); umur kawin pertama betina 18-24 bulan dan jantan 23-28 bulan; beranak pertama kali 28-40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978; Davendra et al., 1973; Payne dan Rollinson, 1973) dengan lama bunting 285-286 hari (Darmadja dan Suteja, 1975) dan jarak beranak 14-17 bulan (Darmadja dan Sutedja, 1976) dengan persentase kebuntingan 80-90% dan persentase beranak 70-85% (Pastika dan Darmadja, 1976; Pane, 1991). Rata-rata siklus estrus adalah 18 hari, pada sapi betina dewasa muda berkisar antara 20 – 21 hari, sedangkan pada sapi betina yang lebih tua antara 16-23 hari (Pane, 1979) selama 36 – 48 jam berahi dengan masa subur antara 18 – 27 jam (Pane 1979; Payne, 1971) dan menunjukkan birahi kembali setelah beranak antara 2-4 bulan (Pane, 1979). Sapi Bali menunjukkan estrus musiman (seasonality of oestrus), 66% dari sapi Bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – januari dan 71% dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976). Persentase kematian sebelum dan sesudah disapih pada sapi Bali berturut-turut adalah 7,03% dan 3,59% (Darmadja dan Suteja, 1976). Persentase kematian pada umur dewasa sebesar 2,7% (Sumbung et al., 1976).
Berat lahir sapi Bali untuk anak betina sebesar 15,1 kg dan 16,8 kg untuk anak jantan (Subandriyo et al., 1979) dengan kisaran 12-17 kg (Talib et al., 2003), di Malaysia sebesar 16,7 kg (Devendra et al., 1973) dan Australia sebesar 16-17 kg (Kirby, 1979). Sedangkan berat lahir sapi Bali pada pemeliharaan dengan mono kultur padi, pola tanam padi-palawija dan tegalan masing-masing sebesar 13,6, 16,8 dan 17,3 kg (Darmaja, 1980). Berat sapih kisaran antara 64,4-97 kg (Talib et al., 2003), untuk sapih jantan sebesar 75-87,6 kg dan betina sebesar 72-77,9 kg (Darmesta dan Darmadja, 1976); 74,4 kg di Malaysia (Devendra et al., 1973); 82,8 kg pada pemeliharaan lahan sawah, 84,9 kg dengan pola tanam padi – palawija, 87,2 kg pada tegalan (Darmadja, 1980). Berat umur setahun berkisar antara 99,2-129,7 kg (Talib et al., 2003) dimana sapi betina sebesar 121-133 kg dan jantan sebesar 133-146 kg (Lana et al., 1979). Berat dewasa berkisar antara 211-303 kg untuk ternak betina dan 337-494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Sedangkan pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32-0,37 kg dan 0,28-0,33 kg masing-masing jantan dan betina (Subandriyo et al., 1979; Kirby, 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23-0,27 kg (Nitis dan Mandrem, 1978); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25-0,42 kg (Nitis, 1976); pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978).
Sapi Bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69-71%, tulang 14-17% lemak 13-14% (Sukanten, 1991).
Sapi Bali mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat selain sebagai penghasil daging, petani kecil memanfaatkannya sebagai ternak kerja, penghasil pupuk, dan tabungan. Di Pulau Bali, sapi Bali digunakan untuk pariwisata upacara keagamaan seperti acara ”gerumbungan” atau lomba adu sapi dan upacara ”Pitra Yadnya” atau sarana pengantar roh ke surga khususnya sapi Bali yang berwarna putih


Penampilan produksi sapi Bali (Pane, 1990)
Permasalahan
R A T A - R A T A
Sul-Sel
NTT
NTB
Bali
P3Bali
B.C.
Berat lahir (kg)
Berat sapih (g)
Berat setahun (kg)
Berat 1,5 tahun betina
Berat 1,5 tahun jantan
BB betina siap kawin (kg)
BB jantan siap kawin (kg)
Berat dewasa (5thn) btn
Berat dewasa (5thn) jtn
13
70
112,5
150
162
165
215
224
337
13,5
71,4
115
154
165
167
220
235
355
14,3
72
118,4
160
171
168
240
238,5
363
16
86
127,5
167,4
182
170
255
264
395
17
90
134
178,8
193
173
265
278
450
18
97
143
190
207
180
270
300
494
Umur betina siap kawin (bln)
Umur jantan siap kawin (bln)
Persentase kelahiran
Jarak kelahiran
Tingkat kesuburan (%)
Conseption rate
24
28
76
480
82
-
23
26
70
521
-
-
22
26
72
507
-
-
20,7
2
69
530
83
85,9
20
24
88
450
86
88
18
23
83
441
89
90
Ukuran tubuh dewasa
Jantan :
- Lingkar dada (cm)
- Tinggi gumba (cm)
- Panjang badan (cm)
181,4
122,3
125,6
180,4
126,0
134,8
182
125,2
133,6
185,8
125,4
136,3
190,1
127,4
142,8
198,8
130,1
146,2
Betina :
- Lingkar dada
- Tinggi gumba
- Panjang badan (cm)
160,0
105,4
116,2
158,6
114,0
1184
160,0
112,5
118,0
160,8
113,6
118,2
166,1
113,8
118,7
174,2
114,4
119,6
Keguguran dini (%)
Keguguran
Lahir mati
Lahir lemah
Kematian pedet pra sapih (%)
Kematian sapi muda
Kematian sapi dewasa (%)
-
-
-
-
7
-
2,7
-
-
-
-
35
-
-
7,8
3,1
-
-
9
-
-
7,4
2,7
-
-
8,21
-
3
7,1
2,5
2,1
1,6
5,2
3,9
2
5,0
2,1
0
0
5,35
2,7
2

Manfaat yang dapat diperoleh dari pemeliharaan ternak sapi:
1.   Menciptakan lapangan kerja bagi keluarga
2.   Mendapatkan pupuk kandang dari kotorannya, yang saat ini sangat terasa karena pupuk buatan tidak lagi disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya sangat mahal. Untuk menggantikan sebagian pupuk nitrogen, petani dapat memanfaatkan urin sapi untuk disiramkan pada tanaman pertanian.
3.   Dapat memanfaatkan tenaga sapi untuk pengolahan lahan dan bentuk tenaga kerja lainnya.
4.   Hasil jual ternak, baik yang didapat dari pertambahan berat badan maupun yang didapat dari tambahan anak.
Dari manfaat tersebut diatas, memelihara sapi merupakan suatu usaha yang menguntungkan. Untuk mendapatkan kesuksesan dalam pemeliharaan ternak, perlu kiranya pengetahuan yang menunjang keberhasilan beternak, yang secara garis besar akan diuraikan lebih lanjut.

2. KANDANG
Untuk menuju usaha ternak yang berhasil harus dimulai dari membuat kandang, karena kandang merupakan tempat dimana sapi akan menghabiskan sebagian besar waktunya, terutama sapi-sapi yang digemukan di kandang. Kandang yang baik tidak selalu harus dibuat dari bahan-bahan yang mahal, karena dapat dibuat dengan memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat di sekitar kita, misalnya menggunakan bambu, batang kayu yang cukup besar, dan bahkan untuk atap dapat menggunakan rumbia/alang-alang. Namun demikian, bahan yang dianjurkan adalah bahan yang dapat bertahan lama.
Dalam membuat kandang (yang sederhana sekalipun) dituntut untuk dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Untuk hal ini, perlu diperhatikan beberapa aspek yang diuraikan di bawah ini:

2. 1. Tata Letak Kandang
Bangunan kandang sebaiknya dibuat dengan jarak 6-10 m dari rumah, dan jangan sampai mendirikan kandang yang berhimpitan dengan rumah kita. Ventilasi udara kandang dapat mengalir dengan lancar dan seyogyanya dapat diusahakan untuk menghadapkan kandang ke Timur agar sinar matahari pagi dapat menyinari kandang dan bagian dalamnya. Kandang sebagai pelindung ternak harus dapat melindungi ternak dari panas, hujan, dan terpaan angin secara langsung yang kuat, terutama di malam hari.
2. 2. Ukuran dan Bentuk Kandang
Ruangan kandang yang dibutuhkan agar sapi dapat leluasa serta nyaman untuk tinggal di dalamnya adalah sekitar 1,8 x 2 m2/ekor.
2. 3. Lantai dan Atap Kandang
Prinsip didalam pembuatan lantai kandang adalah mengkondisikan agar kandang selalu kering atau tidak becek, sehingga dalam pembuatannya agar memperhatikan kemungkinan tergenangnya air seni dan kotoran. Untuk itu, lantai kandang diusahakan dibuat dari bahan yang padat, misalnya dengan lantai semen, atau dengan tanah yang dipadatkan. Untuk menghindari tergenangnya air seni, lantai kandang harus dibuat miring, yang kemudian dibagian paling rendah dibuat parit untuk menyalurkan air seni ke bak penampung.
Untuk melindungi ternak dari panas dan hujan, kandang harus dilengkapi dengan atap, yang dapat menggunakan genteng atau seng, atau secara sederhana dapat memanfaatkan daun rumbia atau alang-alang.
2. 4. Perlengkapan Kandang
Kandang yang baik haruslah dapat memberikan rasa yang nyaman untuk ternak. Untuk itu, perlengkapan kandang seperti tempat pakan dan minum harus disediakan. Pakan ternak, baik hijauan maupun konsentrat (misalnya dedak, ampas tahu) tidak dapat diletakkan begitu saja, karena pakan yang diletakkan begitu saja dapat tercampur kotoran sapi dan tercemar telur cacing yang dapat mengganggu kesehatan ternak. Tempat pakan dan minum diusahakan agar tidak mudah kena kotoran sapi, sehingga sering diletakkan di bagian depan (kepala) untuk sapi yang diikat atau diletakkan di sisi luar pembatas kandang.
Fasilitas lain yang seyogyanya tersedia adalah kandang jepit (kandang sempit) yang berguna untuk penanganan pengobatan atau layanan perkawinan.
2. 5. Pemeliharaan Kandang
Kandang sapi harus dibersihkan setiap hari, dan kotoran sapi harus ditampung di tempat penampungan kotoran sehingga tidak mengganggu aliran air seni menuju bak penampungan air seni. Penampungan kotoran harus dibuat sedemikian rupa agar kotoran sapi tersebut tidak mengganggu lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Untuk mencegah agar kotoran sapi tidak mengganggu lingkungan dan pupuk kandang yang dihasilkan mempunyai kualitas yang baik, kotoran sapi yang ditampung di penampungan haruslah dilindungi dari air hujan dengan memberi atap yang sederhana.
3. MEMILIH SAPI BALI
Memilih bibit yang baik merupakan salah satu aspek yang penting di dalam produksi ternak. Hal ini dapat dipahami karena pedet-pedet yang baik hanya diturunkan oleh induk-induk yang baik. Untuk itu, sapi bibit (Bali) sebaiknya dipilih sesuai dengan standar dari bangsa sapi yang dimaksud. Selain standar ukuran dari sapi yang dimaksud, aspek lain yang digunakan di dalam kriteria pemilihan sapi bibit/calon bibit adalah sifat genetis (sifat yang diturunkan), bagian luar, kesehatan, dan ukuran tubuh sapi. hal lainnya yang harus diperhatikan adalah umur ternak, sehingga banyak pertimbangan yang harus diperhatikan dalam memutuskan apakah sapi tersebut layak digunakan sebagai bibit atau tidak.
Memilih sapi untuk calon bibit/bibit:
1.      Pilihlah sapi dara yang penampilannya mencerminkan sapi yang sehat, matanya jernih, selaputnya tidak kotor atau merah, bulu badannya halus serta mengkilat.
2.      Kondisi tubuhnya padat berisi, tapi tidak gemuk
3.      Bagian leher dan bahunya lebar
4.      Bagian dada lebar, dalam dan menonjol ke depan
Memilih sapi jantan untuk digemukkan.
1.      Pilihlah sapi jantan yang berat lahirnya tinggi dan memiliki pertumbuhan yang cepat.
2.      Berkaki pendek dengan kondisi  tubuh yang baik dan berbentuk segi empat
3.      bagian bahu dan bagian lehernya lebar
4.      Bagian dada lebar, dalam, dan menonjol ke depan.
Ukuran minimum vital statistik bibit sapi Bali
Ukuran menurut jenis kelamin
Muda
Dewasa
Jantan
Panjang badan
127 cm
134 cm
Tinggi gumba
112 cm
126 cm
Lingkar dada
185 cm
193
Umur
2-3,5 tahun
maks 8 tahun
Betina
Panjang badan
116 cm
120 cm
Tinggi gumba
105 cm
115 cm
Lingkar dada
162 cm
115 cm
Umur
2,35 tahun
maks 8 tahun
Sumber : Buku saku peternakan Direktorat Penyuluhan Peternakan, 1975

4.PAKAN DAN PEMBERIAN PAKAN
Pakan merupakan sumber zat gizi yang diperlukan untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Karena pakan merupakan sumber zat gizi, ternak sapi tidak saja perlu pakan dalam jumlah yang cukup (kuantitasnya) namun juga diperlukan pakan yang berkualitas. Pakan yang baik (berkualitas) banyak mengandung zat gizi yang diperlukan ternak, sehingga kombinasi pakan yang berkualitas dengan jumlah (kuantitas) yang cukup akan memberikan peluang kepada ternak yang dipelihara untuk mendapatkan sejumlah zat gizi untuk keperluan pertum-buhannya.

Secara umum, pakan ternak dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1.   Pakan serat: hijauan pakan ternak (rumput-rumputan, kacang-kacangan, dan daunan lainnya), dan jerami (jerami padi, jagung, kacang tanah dan sebagainya)
2.   Pakan penguat atau konsentrat.
Pakan serat: Pakan serat merupakan sumber pakan yang tersedia dalam jumlah banyak. Di alam, pakan serat sering tersedia dalam bentuk rumput-rumputan, kacang-kacangan, dan limbah pertanian tanaman pangan. Diantara ketiga jenis pakan serat tersebut, kacang-kacangan merupakan sumber pakan serat yang mempunyai kandungan protein kasar yang paling tinggi dibanding dengan dua lainnya (rumput-rumputan dan limbah pertanian). Kualitas pakan serat biasanya dipengaruhi oleh umur tanaman, sehingga hijauan tanaman pakan yang dipotong pada umur yang lebih tua akan menghasilkan kualitas pakan yang lebih rendah dengan ditunjukkannya kandungan protein kasar yang rendah dan kandungan serat yang tinggi. Oleh karena itu, limbah pertanian tanaman pangan yang dipanen pada umur tua (setelah diambil hasil utamanya) mempunyai kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput.
Jenis rumput unggul yang digunakan untuk pakan ternak:
Rumput gajah (Pennisetum purpureum), merupakan tanaman tahunan, membentuk rumpun, tingginya dapat mencapai lebih dari 2 m. Rumput ini disukai oleh ternak, khususnya sapi, dan produksinya tinggi. Di daerah yang cukup pengairannya dapat mencapai 290 ton segar/ha/th.
Rumput benggala (Panicum maximum), merupakan tanaman tahunan yang membentuk rumpun, tingginya dapat mencapai lebih 2 m, mempunyai gizi yang baik, dan disukai oleh ternak. Produksinya dapat mencapai 115 ton segar/ha/tahun.
Setaria (Setaria sphacelata), merupakan rumput tahunan yang membentuk rumpun, dapat mencapai 1,5 m, disukai oleh ternak, produkstif, dan tahan kering.
Rumput raja (dikenal sebagai King Grass), merupakan silangan dari rumput gajah, produksinya lebih tinggi dari rumput gajah, tidak berbunga, ditanam dengan menggunakan stek.
Jenis rumput unggul lainnya antara lain rumput meksiko (Euclaena mexicana), dan rumput bede (Brachiaria decumbens).
Jenis tanaman legum untuk pakan ternak:
Lamtoro (Leucaena leucocephala), merupakan tanaman legum pohon yang multi guna. Banyak ditanam untuk diambil kayunya, daun, dan buahnya. Sebagai pakan ternak, lamtoro merupakan pakan sumber protein yang tinggi dan disukai oleh ternak. Diberikan ternak untuk pakan campuran. Bahan pakan ini mengandung mimosin yang memberikan pengaruh pada ternak yang sensitif, terutama ternak muda.
Gamal (Gliricidea maculata), merupakan tanaman pohon, biasnya ditanam sebagai tanaman pagar. Tanaman ini biasanya ditanam dengan menggunakan batangnya (stek). Daun gamal sangat baik untuk pakan ternak, namun untuk ternak yang belum terbiasa mungkin kurang menyukainya. Biasanya daun gamal diberikan kepada ternak setelah dilayukan terlebih dahulu.
Kaliandra. Kaliandra merupakan tanaman legum pohon yang banyak ditanam sebagai pakan ternak. Kaliandra diberikan kepada ternak sebagai campuran rumput guna meningkatkan protein pakan.
Indigo (Indigofera spp), merupakan tanaman perdu yang membentuk kayu (pohon), daunnya mirip dengan daun gamal. Baik sekali sebagai pakan ternak dan diketahui tahan terhadap kekeringan.
Desmodium (Desmodium rinsonii), merupakan tanaman legum pohon yang berdaun bulat, sangat disukai oleh ternak dan kandungan proteinnya tinggi. Ditanam sebagai tanaman pembatas dengan jarak tanam yang rapat. Tanaman ini dipotong dengan ketinggian 50 cm dari permukaan tanah yang kemudian tumbuh tunas baru.
Centro (Centrocema pubescens), merupakan tanaman legum penutup tanah (LCC) yang tumbuh menjalar. Biasanya dijumpai tumbuh bersama tanaman lain ditempat terbuka. Jenis tanaman legum penutup tanah lainnya yang dapat digunakan sebagai pakan ternak adalah Puero (Pueraria javanica), Siratro (Macroptilium atropurpureum) dan masih banyak lagi.
Limbah pertanian tanaman pangan.
Banyak limbah pertanian tanaman pangan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak sapi, seperti jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, dan masih banyak lagi. Sebagai pakan ternak, seperti telah diuraikan di depan, limbah pertanian kualitasnya lebih rendah dibandingkan dengan rumput kecuali limbah kacang-kacangan.
Pakan Penguat atau Konsentrat.
Pakan penguat atau konsentrat adalah pakan ternak yang mempunyai kandungan gizi yang tinggi. Kalau dibandingkan dengan pakan serat, pakan penguat diperlukan dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pakan serat untuk mendapatkan sejumlah zat gizi yang sama. Biasanya pakan penguat atau konsentrat mempunyai nilai yang lebih mahal per satuan berat dibandingkan dengan pakan serat. Namun demikian, hal ini tidak selalu karena ada beberapa limbah pengolahan produk pertanian yang mungkin nilainya tidak mahal atau tersedia melimpah (untuk tempat-tempat tertentu), misalnya ampas tahu.
Pakan penguat diberikan ternak untuk melengkapi kebutuhan gizi apabila diperhitungkan kurang dari kebutuhan ternak. Macam atau jenis pakan penguat misalnya: dedak padai, dedak jagung, bungkil kelapa, bungkil kacang tanah, bungkil kedelai, bungkil biji kapok, tetes tebu, ampas tahu, dan masih banyak bahan lainnya.
Pemberian Pakan
Untuk pembibitan dan penggemukan sapi, pemberian pakan di kandang sangat menguntungkan mengingat peternak dapat mengontrol jumlah dan kualitas pakannya. Ternak yang ada di kandang dirumputkan dari kebun rumput atau kebun hijauan yang ada. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pakan ternak adalah:
  1. Rumput yang diberikan adalah rumput yang berkualitas baik, yaitu rumput yang dipotong pada saat menjelang berbunga (karena pada kondisi ini dicapai kualitas dan kuantitas zat gizi yang optimal).
  2. Banyaknya hijauan yang diberikan dalam jumlah cukup untuk pertumbuhan, kira-kira 10% rumput segar dari berat badannya. Misalnya berat sapi 150 kg, rumput yang disediakan tidak kurang dari 15 kg rumput per hari.
  3. Usahakan diberikan campuran hijauan leguminosa (kacang-kacangan) untuk meningkatkan kualitas pakannya (menambah protein pakan). Jumlah hijauan leguminosa kira-kira 1% dari berat badannya. Untuk sapi dengan berat 150 kg sebagai contoh di atas perlu tambahan daun leguminosa 1,5 kg.
  4. Usahakan hijauan pakan yang diberikan, baik rumput maupun leguminosa dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak.
  5. Jangan memanen rumput/leguminosa terlalu muda, karena dapat menyebabkan diare/mencret dan kembung.
  6. Apabila pakan penguat dipandang perlu untuk diberikan, sediakan sebanyak 1 % dari berat badan, seperti halnya hijauan leguminosa.
5. PERKAWINAN DAN KELAHIRAN SAPI BALI
Sapi Bali merupakan jenis sapi yang diketahui yang mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi. Fertilitasnya lebih banyak dipengaruhi oleh panjangnya masa birahi daripada pengaruh lingkungan. Secara teori, sapi yang mempunyai masa birahi lebih panjang akan lebih fertil dibandingkan dengan sapi yang masa birahinya pendek.
Kemampuan sapi bali menghasilkan anak dalam setahun berkisar 80-86%, dengan kematian anak yang relatif rendah, yaitu berkisar 1,87%. Pada pemeliharaan yang ekstensif (digembalakan) kematian anaknya lebih tinggi karena ditinggal induknya di semak-semak. Untuk itu pemeliharaan dikandang dapat menekan kematian anak sapi yang dilahirkan.
Kemampuan reproduksi sapi bali sangat baik, sapi betina dikawinkan pertama kali pada umur 2-2,5 tahun, dimana perkembangan tubuh dan organ reproduksinya sudah sempurna. Jarak melahirkan anak sapi berkisar 12-14 bulan, tergantung dengan cara pengelolaannya. Indeks kebuntingan sapi bali kira-kira 1,2 yang artinya sapi betina menjadi bunting setelah dikawinkan 1,2 kali (paling tidak sekali).
Sistem perkawinan.
Perkawinan sapi bali biasanya dilakukan dengan dua cara, yaitu secara (1) alami (kawin dengan sapi jantan pemacek) dan (2) inseminasi buatan.
Perkawinan secara alami biasanya tidak dihasilkan anak yang baik, mengingat sapi jantan pemaceknya tidak cukup baik. Untuk mendapatkan anak sapi yang baik, perkawinan dengan inseminasi buatan lebih menjanjikan mengingat inseminasi buatan menggunakan sperma dari sapi pejantan unggul (pilihan).
Untuk terjadi kebuntingan, harus diperhatikan saat perkawinannya. Sapi bali betina tidak dapat dikawinkan setiap saat. Perkawinan dapat dilakukan pada saat sapi betina birahi (minta kawin) yang terjadinya setiap 21 hari (satu siklus). Sapi betina yang sedang birahi akan tetap berdiri ditempatnya apabila dinaiki oleh pejantan. Tanda-tanda sapi birahi lainnya sama dengan ternak lain secara umum, yaitu:
1.   Sapi gelisah dan tidak tenang.
2.   Sapi sering menguak/melenguh
3.   Sapi mencoba menaiki ternak lainnya dan akan tetap diam kalau dinaiki sapi lainnya
4.   Pangkal ekornya sering terangkat sedikit dan kadang-kadang keluar cairan jernih transparan yang mengalir dari kemaluannya.
5.   Sapi dara sering ditunjukkan dengan membengkaknya bagian vulva dan kadang berwarna kemerahan.
6.   Adakalanya sapi menjadi pendiam dengan nafsu makan yang kurang.
Pelaksanaan perkawinan.
Setelah terlihat tanda-tanda birahi, sapi harus cepat dikawinkan. Perkawinan dapat dilakukan secara alami atau dengan inseminasi buatan seperti telah diuraikan di depan. Kalau akan dilakukan inseminasi buatan, laporkan sapi yang sedang birahi kepada petugas (inseminator) yang telah ditunjuk oleh Dinas Peternakan setempat.
Menentukan kebuntingan
Secara sederhana, kebuntingan dapat diamati 21 setelah perkawinan dilakukan. Kalau tidak ditunjukkan tanda-tanda birahi, berarti kebunting telah terjadi, namun apabila tanda-tanda birahi muncul lagi, berarti perkawinan perlu diulang. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan perabaan, yang hanya dilakukan oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman. Lama bunting sapi  bali berkisar280-285 hari. Setelah anak sapi lahir, induk sapi dapat dikawinkan lagi setelah 3 bulan melahirkan. Untuk menjaga kebuntingan, sapi bunting harus dipisahkan dari sapi lainnya.
Mempersiapkan Kelahiran.
Beberapa hari menjelang melahirkan, induk yang bunting akan menunjukkan tanda-tanda:
1.      Ambing membesar dan kencang
2.      Urat daging disekitar vulva mengendor, dan di kanan-kiri pangkal ekor kelihatan legok.
3.      Beberapa saat menjelang melahirkan, sapi gelisah.
Apabila tanda-tanda tersebut muncul, kandang harus dibersihkan dari kotoran dan diberi alas dengan jerami kering.
Pertolongan yang sering dilakukan adalah menarik kaki anak sapi yang baru lahir, namun harus dilakukan dengan hati-hati. Gerakan penarikan harus sesuai dengan irama dengan kontraksi/pengerahan tenaga yang dilakukan oleh induk.
Setelah melahirkan, induk sapi biasnya membersihkan lendir yang menempel pada anaknya dengan jilatan-jilatan. namun apabila induknya lemah dan tidak mampu segera melakukannya, maka kita perlu menolong membersikannya, terutama yang mengganggu lubang pernafasannya.
Supaya kelahiran berjalan lancar, induk sapi yang akan beranak diberi kesempatan bergerak kira-kira 2-3 minggu menjelang melahirkan.

6. PENCEGAHAN PENYAKIT
Agar ternak sapi yang kita pelihara tidak terserang penyakit, pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
  1. Menjaga sanitasi kandang dengan membersihkan dan mengusahakan tidak becek
  2. Mengikuti program vaksinasi oleh Dinas Peternakan atau POSKESWAN
  3. Menjaga kebersihan badan sapi dengan cara memandikannya secara berkala
  4. Mengobati luka-luka yang ada dan memberika desinfektan
  5. Selalu menghubungi POSKESWAN/Petugas Kesehatan Hewan terdekat untuk mendapatkan perawatan apabila ada ternak yang sakit.

DAFTAR PUSTAKA
Aalfs, H.G. 1934. De Rundeveeteelt op het Eiland Bali, Poefschrift. H.J. Smith. Utrecht.

Anonimous. 1985. Performans Sapi Bali di NTT., BPT-Direktorat Bina Produksi Peternakan. Ditjennak. Departemen Pertanian.

Darmadja, S. G. N. D. 1980. Half a century, traditional cattle husbandry within the agricultural ecosystem of Bali. Thesis, Universitas Pajajaran. Bandung.

Darmesta, I.N. dan D. Darmadja. 1976. Berat sapih sapi Bali. Pros. Reproduksi dan Performans Sapi Bali. Dinas Peternakan. Daerah Tk I. Bali.

Devendra, C. T., K. C. Lee, and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agri. Journal 49:183-197.

Entwistle, K., C. Talib, A. Siregar, S. |Budiarti-Turner, D. Lindsay. 2001. Bali cattle performance current population dynamics and some strategies for improvement (a preliminary report). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Handiwirawan, E. 2003. Penggunaan Mikrosatelit HEL9 dan INRA035 sebagai Penciri Khas Sapi Bali. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hardjosubroto, W. dan Astuti, M. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Herweijer, C.H. 1950. Enkele aantekeningen btreffende de geschiendenis van de runderveeteelt op het Eiland Timor. Hemera Zoa 56: 689.

Ditjennak-IPB. 1978. Performans sapi Bali dan Ongole di Bali dan NTB. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan IPB.

Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia. World Rev. Anim. Prod. 3:24-30.

Lana, I.K., I.B. Djagra dan P. Sutedja. 1979. Pertambahan lingkar dada, berat badan dan korelasinya pada sapi Bali betina. Pros. Seminar Keahlian di Bidang Peternakan Sapi Bali. Fakultas Kedokeran Hewan dan Peternakan. Univ. Udayana.

Martojo, H. 1984. Spesifikasi Teknis Bibit Ternak Sapi Bali, Sapi Ongole dan Sapi Madura. Direktorat Bina Produksi Peternakan. Ditjennak. Departemen Pertanian.

Mathius, W. dan I.M. Nitis. 1976. Tabiat makan sapi Bali yang digembalakan vs yang dipatokan di tegalan. Lemb. LPP. Bogor.

Meijer, W.C.P
. 1962. Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Witterberg Lutherstandt.

Moran, J.B. 1978. Perbandingan “performance” jenis sapi daging di Indonesia. Prosiding Seminar Ruminansia. Ciawi 24-25 Juli 1978. Direktorat Jenderal Peternakan. Depatemen Pertanian. Bogor.

National Research Council. 1983. Little-Konwn Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press.

Nitis, I.M. dan Mandrem. 1978. Korelasi antara tambahan berat badan dengan makanan yang dimakan dan dengan tabiat makan sapi Bali yang dikandangkan. Pros. Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan dan IPB. Bogor

Nozawa, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Proc. Workshop Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Tsukuba. Hlm. 23-43.

Oka, I. G.L. dan D. Darmadja.
1996. History and development of Bali Cattle. Proc. Seminar on Bali cattle, a Special Species for the Dry Tropics. 21 September 1996. Indonesia Australia Eastern University Project (IAEUP), Udayana University Lodge, Bukit Jimbaran, Bali.

Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hassanudin. Ujung Pandang.

Payne, W.J.A. and J. Hodges. 1997. Tropical Cattle; Origin, Breeds, and Breeding Policies. Blackwell Sciences.

Payne, W.J.A. and Rollinson, D.H.L.
1973. Bali Cattle. World Anim. Rev. 7, 13–21

Pulungan, H. dan K. Ma’sum. 1978. Performance sapi Bali dan hasil persilangan dengan Sapi Herford dan Shorthorn. Seminar Ruminansia. Ditjen Peternakan dan IPB. Bogor.

Rollinson, D.H.L. 1984. Bali Cattle. In : Evolution of Domestic Animals. Mason. I.L. (Ed). New York. Longman.

Subandriyo, P. Sitorus, M. Zulbardi dan R. Ambar. 1979. Performan sapi Bali. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia 1:8.

Sumbung, F.P. 1977. Performans reproduksi sapi Bali. Prosiding Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan, P4 dan Fapet IPB. Bogor.

Surjoatmodjo, M. 1992. Asal-usul Sapi Madura Ditinjau dari Haisl Pengukuran Bagian-Bagian Tubuhnya. Prosiding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Ciawi-Bogor, 11-12 Oktober 1992. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay.
2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”. Denpasar, Bali.

Bandini, Y. 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya, PT. Jakarta.
Skerman, P.J. 1977. Tropical Forage Legumes. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Skerman, P.J. and Reveros, F. 1989. Tropical Grasses. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
Tomaszewaka, M. W., Sutama, I.K., Putu, I.G. dan Chaniago, T.D. 1991. Reproduksi, Tingkah laku, dan Produksi Ternak di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta